DUNIA fotografi ibarat dunia tanpa koma. Mengalir deras seiring berkembangnya zaman. Kecanggihan teknologi membuat orang makin tertarik dengan dunia “jeprat-jepret” itu. BAGI seorang pencinta fotografi, tak ada momen yang terlewatkan begitu saja saat “senjata” kamera mereka pegang. Bagi mereka, semua momen sama pentingnya. Tak ayal, apa pun momen di depan mata, akan selalu diabadikan. Bahkan terkadang dicari waktu khusus untuk hunting mencari target sekadar mendapatkan gambar yang punya nilai seni tinggi.
|
Canon EOS-1100D |
Di Jambi, dunia fotografi bukan hal baru lagi. Dari yang perseorangan, hingga bergabung dalam sebuah komunitas, yakni Jambi Photograpi Group (JPG) dan Jambi Digital Camera Community (JDCC).
Komunitas yang menjadi sarangnya para penggemar fotografi di Jambi itu berisi anggota-anggota dari usia pelajar hingga yang berumur. Bagi mereka, berbeda dalam usia tidak menjadi suatu masalah yang dapat membuat komunitas tidak jadi dibentuk.
Pembina JDCC Eddy Hermasnyah mengatakan, semua tentang fotografi dibahas dalam JDCC. “Kita punya jadwal rutin seminggu sekali untuk mengadakan workshop,” katanya. Workshop dihadiri anggota JDCC yang mencapai 75 orang.
Tema yang kita bahas workshop berbeda-beda. Mulai dari dasar-dasar teknik fotografi hingga olah digital dan variasi warna. Selain menjalin silaturahmi, workshop untuk ajang sharing para anggota. Eddy mengatakan, komonitas itu dibangun murni atas dasar kesamaan hobi.
Alasan komunitas yang berdiri pada 2007 itu memilih digital, salah satunya karena ingin disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. “Ini hanya mengikuti zaman. Dan jika anggota punya kamera pocket, tetap bisa gabung di sini,” ujar Adi Fitri, sekretaris JDCC, menambahkan.
Dikatakan, teknik dan dasar-dasar fotografi harus dikuasai. Ada empat elemen penting dalam fotografi, yakni pencahayaan, sudut pengambilan, komposisi, dan momen. Keempatnya harus dikombinasikan agar bisa mendapatkan foto yang mampu bercerita kepada yang melihatnya.
Eddy tidak memungkiri hobi itu menghabiskan biaya yang tidak sedikit. “Dari Rp 4 juta-Rp 90-an juta, dan itu baru untuk body saja. Namun kami semua melihat ini adalah suatu investasi awal,” ujar Eddy. Alasan Eddy, banyak manfaat yang bisa didapat. Dengan adanya komunitas itu, pengetahuan terhadap teknologi terasah.
Sejak JDCC berdiri, sudah dua kali mereka mengadakan pameran yang semua bertemakan keindahan Jambi. “Januari nanti juga akan mengadakan pameran dengan tajuk ‘Pesona Jambi dalam Lensa’,” ujar Keke, salah satu pelopor komunitas itu.
Setiap pameran, hasil jepretan yang dipamerkan adalah keseluruhan hasil foto milik anggota JDCC.
Bagaimana respons keluarga? “Tetap yang utama adalah keluarga,” kata Keke. Saat workshop atau acara-acara tertentu, keluarga terkadang diajak. “Bahkan ada yang ikut menjadi anggota JDCC juga,” katanya ramah.
Hunting bareng yang dilakukan, kata Keke, juga terkadang mengajak anggota keluarga. “Istri sampai juga minta dibelikan kamera,” katanya. Hal itu karena sang istri ikut menyukai dunia fotografi.
Intinya, segala sesuatu akan dapat berjalan lancar ketika semua anggota saling dukung satu dengan yang lainnya. “Komonitas ini semakin besar, dan hubungan dengan kelaurga juga menjadi lebih baik,” ujarnya.
Kukuh Apriansyah, anggota JDCC, mengatakan, dalam sebulan, terkadang dia dan komunitasnya dua kali turun hunting mencari objek foto. Dari sekian lama mendalami fotografi secara otodidak, ia paling senang merekam human interest. “Pokoknya yang merekam kehidupan sosial,” ujarnya.
Misalnya, suatu ketika ia membidik objek aktivitas pedagang di Pasar Burung, Kota Jambi. Lainnya, pria tua yang gigih bekerja menarik gerobak. Kadang diupayakan agar hasil seperti diambil secara tersembunyi.
Tertular Saudara dan Belajar Otodidak
Kalau saja saudara Kukuh Apriansyah tidak memiliki usaha sampingan jasa fotografi, mungkin remaja 19 tahun itu tidak akan kecantol dengan dunia potret-memotret. Dan, ternyata memang faktor lingkungan cukup berpengaruh membentuk seseorang.
Terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, dua kakak Kukuh lebih dulu mengenal fotografi. Kini, ia pun ikut tertular hobi fotografi dari sang kakak. “Kebetulan di rumah ada kamera dan kakak kadang ada order foto pernikahan,” kata mahasiswa Fakults Hukum Unbari itu, Jumat (13/11). Bahkan ia mengaku, secara tidak langsung ia dididik agar bisa menjadi pengambil gambar.
Alumnus SMAN 6 Jambi itu mengaku dirinya mulai tertarik dengan fotografi ketika duduk di kelas tiga SMA. Belajar secara otodidak, pengetahuan mahasiswa semester tiga itu tentang fotografi kian bertambah setelah bergabung dengan komunitas JDCC dan Jambi Photography Club (JPG).
“Di JDCC kami rutin berkumpul seminggu sekali, di sana kami bisa sharing. Pokoknya ada dapat ilmu barulah ketika kumpul,” kata remaja yang berulang tahun tanggal 10 April itu.
Dalam sebulan, terkadang kukuh dan komunitasnya dua kali turun hunting mencari objek foto. Dan sekian lama mendalami fotografi secara otodidak, ia paling senang merekam peristiwa human interest. “Pokoknya yang merekam kehidupan sosiallah,” imbuhnya.
Misalnya, suatu ketika ia membidik objek aktivitas pedagang di Pasar Burung. Lainnya, pria tua yang gigih bekerja menarik gerobak. Kadang, kata dia, biar kelihatan ekspresinya diambil candid (tersembunyi).
Dari hobinya ini, Kukuh mengaku sesekali mendapat tambahan uang saku. Menolak disebut job sampingan tapi sesekali pemuda berambut lurus ini mengerjakan order foto. Salah satunya ketika ia diminta anak-anak SMAN 1 untuk mengambil foto yang akan dijadikan album kelas mereka. “Lumayanlah,” katanya tanpa menyebut besar honor yang ia terima.
Mengenakan kemeja motif kotak-kotak, Kukuh mengatakan bebrapa hasil jepretannya pernah ia pamerkan. Teranyar ketika JPG menggelar pameran di WTC sekitar dua bulan lalu.
Mahasiswa yang juga hobi bermain skateboard ini memamerkan fotonya yang merekam aktifitas tukang perahu ketek di sungai Batanghari. “Kebetulan ketika itu temanya Batanghariku Mata Pencaharianku,” urainya di Graha Pena Jambi Independent.
Menyandang tas selempang, Kukuh sempat memamerkan sejumlah foto hasil bidikannya. Ada foto model wanita dengan berbagai pose. Ada pula foto hamparan ilalang.
Hobi dengan Modal Besar
Fotografi bukanlah hobi yang tidak membutuhkan modal. Bagi sebagian pencintanya, hobi itu butuh duit tidak sedikit, misalnya untuk membeli kamera, belum lagi pelengkapnya seperti lensa tele. Lalu jika objek sudah dijepret, perlu lagi dana untuk mencetak hasilnya. “Ya, memang butuh modal besar sih,” aku Kukuh. Kukuh sedikit beruntung, sebab kamera yang kini ia punya merupakan kamera sang kakak yng bisa ia gunakan.
Dengan Nixon FM 10 SLR, Kukuh mengabadikan objek yang ia suka. Namun karena kameranya bukan kamera digital, Kukuh pun harus merogoh kocek lagi untuk membeli rol film.
Kini satu rol film ISO 400 isi 36 ia beli seharga Rp 25 ribu. Kalau ia ingin mencetak, untuk foto ukuran 3R saja satu lembar Rp 1.500. “Ya, kalikan saja,” katanya tertawa. Makanya untuk menyiasati, remaja yang masih ikut orangtua mencetak fotonya belakangan. Yang penting, disimpan di softcopy.
Pernah ketika ia baru-baru kenal kamera, dalam sebulan ia menghasilkan hingga delapan rol film. “Kalau sekarang paling 2-5 rol,” sebutnya.
Anak pasangan Hasan Nawi dan Zubaidah itu bukan tak berkeinginan mengganti kamera manualnya dengan digital. Ia mengidamkan minimal kameranya tipe D90. “Yang penting telenya,” kata dia. Tapi untuk itu bukan sedikit uang yang harus ia keluarkan. Apalagi bagi seorang mahasiswa sepertinya yang masih ikut orangtua.
Harga kamera idamannya itu saja bisa mencapai Rp 98 jutaan. Belum lagi telenya. “Kalau nabung juga susah,” katanya sembari tertawa.(lyn/dra)